Malam tanpa bintang tidak menyusutkan semangat untuk sang pemimpi dikala sinar lilin menerangi dan dimeriahkan paduan suara jangkrik yang bernyanyi ditengah kebisuan malam yang menunggu mentari menyambut pagi dengan semangat baru. '_'

Kamis, 07 Juni 2012

SASTRA DAERAH

A.    FILOLOGI
Filologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani “philos” yang berarti “cinta” dan logos ” yang diartikan kata. Pada kata “filologi” kedua kata itu membentuk arti “cinta kata” atau “senang bertutur”. Arti ini kemudian berkembang menjadi “senang belajar” atau “senang kebudayaan”. Pengkajian filologi pun selanjutnya membatasi diri pada penelitian hasil kebudayaan masyarakat lama yang berupa tulisan dalam naskah (lazim disebut teks).
Filologi ialah suatu ilmu yang obyek penelitiannya naskah-naskah lama. Yang dimaksudkan dengan naskah di sini, ialah semua peninggalan tertulis nenek moyang kita pada kertas, lontar, kulit kayu, dan rotan. Tulisan tangan pada kertas itu biasanya dipakai pada naskah-naskah yang berbahasa Melayu dan yang berbahasa Jawa; lontar bnyak dipakai pada naskah-naskah berbahasa Jawa dan Bali dan kulit kayu dan rotan biasa digunakan pada naskah-naskah berbahasa Batak. Dalam bahasa Inggris naskah-naskah ini disebut “manuscript” dan dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah “handschrift”. Hal ini perlu dijeaskan untuk membedakan peninggalan tertulis pada batu. Batu yang mempunyai tulisan itu biasa disebut piagam, batu bersurat, atau inskripsi. Dan ilmu dalam bidang tulisan batu itu disebut epigrafi.
Mengingat bahan naskah seperti di atas, jelaslah, bahwa naskah itu tidak dapat bertahan beratus-ratus tahun tanpa pemeliharaan yang cermat dan perawatan yang khusus. Pemeliharaan naskah agar tidak cepat rusak, antara lain : mengatur suhu udara tempat naskah itu disimpan, sehingga tidak cepat lapuk, melapisi kertas-kertas yang sudah lapuk dengan kertas yang khusus sehingga kuat kembali, dan menyemprot naskah-naskah itu dalam jangka waktu tertentu dengan bahan kimia yang dapat membunuh bubuk-bubuk yang memakan kertas itu.
Semua naskah itu dianggap sebagai hasil sastra lama dan isi naskah itu bermacam-macam. Ada yang sebetulnya tidak dapat digolongkan dalam karya sastra, seperti undang-undang, adat-istiadat, cara-cara membuat obat, dan cara membuat rumah. Sebagian besar dapat digolongkan dalam karya sastra, dalam pengertian khusus, seperti cerita-cerita dongeng, hikayat, cerita binatang, pantun, syair, gurindam, dsb. Ituah sebabnya pengertian filologi diidentikkan dengan sastra lama.


Filologi terbagi atas dua bagian yaitu sebagai berikut :
1.    Kodikologi
          Istilah kodikologi berasal dari kata Latin ‘codex’ (bentuk tunggal; bentuk jamak ‘codies’) yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ‘naskah’–bukan menjadi ‘kodeks’. Sri Wulan Rujiati Mulyadi mengatakan kata ’caudex’ atau ‘codex’ dalam bahasa Latin menunjukkan hubungan pemanfaatan kayu sebagai alas tulis yang pada dasarnya kata itu berarti ‘teras batang pohon’. Kata ‘codex’ kemudian di berbagai bahasa dipakai untuk menunjukkan suatu karya klasik dalam bentuk naskah.
          kodikologi adalah satu bidang ilmu yang biasanya bekerja bareng dengan bidang ilmu ini. Kalau filologi mengkhususkan pada pemahaman isi teks/kandungan teks, kodikologi khusus membahas seluk-beluk dan segala aspek sejarah naskah. Dari bahan naskah, tempat penulisan, perkiraan penulis naskah, jenis dan asal kertas, bentuk dan asal cap kertas, jenis tulisan, gambar/ilustrasi, hiasan/illuminasi, dan lain-lain. Nah, tugas kodikologi selanjutnya adalah mengetahui sejarah naskah, sejarah koleksi naskah, meneliti tempat2 naskah sebenarnya, menyusun katalog, nyusun daftar katalog naskah, menyusuri perdagangan naskah, sampai pada penggunaan naskah-naskah itu (Dain dalam SriWulanRujiatiMulyadi,1994:2–3).

2.    Tekstologi
          Tekstologi merupakan bagian dari ilmu filologi yang mempelajari seluk-beluk teks, terutama menelaah yang berhubungan dengan penjelmaan dan penurunan sebuah teks sebagai sebuah teks karya sastra, dari mulai naskah otograf (teks bersih yang ditulis pengarang) sampai pada naskah apograf (teks salinan bersih oleh orang-orang lain), proses terjadinya teks, penafsiran, dan pemahamannya.
          Dengan menyelidiki sejarah teks suatu karya.Data yang terdiri dari karakter-karakter yang menyatakan kata-kata atau lambang-lambang untukberkomunikasi oleh manusia dalam bentuk tulisan.

B.    FOLKLOR
Folklor terdiri atas dua kata, yaitu folk dan lore. Folk berarti kolektif, dan lore artinya adat. Menurut Danandjaja folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Ciri-ciri pengenal itu antar lain: warna kulit yang sama, bahasa yang sama, bentuk rambut yang sama, mata yang sama, taraf pendidikan byang sana, dan agama yang sama. Lore adalah tradisi yang diwariskan turun temurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (Dundes dalam Danandjaja,1994 : 1). Folklor sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turuntemurun diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk, lisan mupum contoh yang disertai gerak isyarat atau alat pembantu paengingat (Danandjaja, 1992 :2).
    Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa folklor dimiliki oleh suat kolektif masyarakat. Selain itu folklor yang diwariskan turun temurun secara lisan (mulut- kemulut) dalam suatu kolektif masyarakat yang mempunyai cerita berbeda-beda diantara satu daerah dengan daerah lain.
    Folklor meliputi legenda, musik, sejarah lisan, pepatah, lelucon, takhayul, dongeng, dan kebiasaan yang menjadi tradisi dalam suatu budaya, subkultur, atau kelompok. Folklor juga merupakan serangkaian praktik yang menjadi sarana penyebaran berbagai tradisi budaya. Bidang studi yang mempelajari folklor disebut folkloristika. Istilah filklor berasal dari bahasa Inggris, folklore, yang pertama kali dikemukakan oleh sejarawan Inggris William Thoms dalam sebuah surat yang diterbitkan oleh London Journal pada tahun 1846.[1] Folklor berkaitan erat dengan mitologi.
1.    Ciri-ciri Folklor
Kedudukan folklor dengan kebudayaan lainnya tentu saja berbeda, karena folklor memiliki karakteristik atau ciri tersendiri. Menurut pendapat Danandjaja (1997: 3), ciri-ciri pengenal utama pada folklor bisa dirumuskan sebagai berikut:
o    Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yakni disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut.
o    Folklor bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar.
o    Folklor ada (exis) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda. Hal ini diakibatkan oleh cara penyebarannya dari mulut ke mulut (lisan), biasanya bukan melalui cetakan atau rekaman, sehingga oleh proses lupa diri manusia atau proses interpolasi (interpolation).
o    Folklor bersifat anonim, yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahui orang lagi.
o    Folkor biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola, dan selalu menggunakan kata-kata klise.
o    Folklor mempunyai kegunaan sebagai alat pendidik, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam.
o    Folklor bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai logika umum. Ciri pengenalan ini terutama berlaku bagi folklor lisan dan sebagian lisan.
o    Folklor menjadi milik bersama (collective) dari kolektif tertentu. Hal ini sudah tentu diakibatkan karena penciptanya yang pertama sudah tidak diketahui lagi, sehingga setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa memilikinya.
o    Folklor pada umumnya bersifar polos dan lugu, sehingga seringkali kelihatannya kasar, terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila mengingat bahwa banyak folklor merupakan proyeksi emosi manusia yang paling jujur manisfestasinya.
2. Jenis-jenis Folklor
      2.1 Folklor lisan
Menurut pendapat Rusyana (1976) folklor lisan atau sastra lisan mempunyai kemungkinan untuk berperanan sebagai kekayaan budaya khususnya kekayaan sastra; sebagai modal apresiasi sastra sebab sastra lisan telah membimbing anggota masyarakat ke arah apresiasi dan pemahaman gagasan dan peristiwa puitik berdasarkan praktek yang telah menjadi tradisi selama berabad-abad; sebagai dasar komunikasi antara pencipta dan masyarakat dalam arti ciptaan yang berdasarkan sastra lisan akan lebih mudah digauli sebab ada unsurnya yang sudah dikenal oleh masyarakat. Sastra lisan terdiridari beberapa bagian yaitu :
a. Prosa Lama
Adapun bentuk-bentuk sastra prosa lama adalah :
o    Hikayat berasal dari India dan Arab, berisikan cerita kehidupan para dewi, peri, pangeran, putri kerajaan, serta raja-raja yang memiliki kekuatan gaib. Kesaktian dan kekuatan luar biasa yang dimiliki seseorang, yang diceritakan dalam hikayat kadang tidak masuk akal. Namun dalam hikayat banyak mengambil tokoh-tokoh dalam sejarah. Contoh: Hikayat Hang Tuah.
o    Sejarah (tambo) adalah salah satu bentuk prosa lama yang isi ceritanya diambil dari suatu peristiwa sejarah. Cerita yang diungkapkan dalam sejarah bisa dibuktikan dengan fakta. Selain berisikan peristiwa sejarah, juga berisikan silsilah raja-raja. Sejarah yang berisikan silsilah raja ini ditulis oleh para sastrawan masyarakat lama. Contoh: Sejarah Melayu karya datuk Bendahara Paduka Raja alias Tun Sri Lanang yang ditulis tahun 1612.
o    Kisah adalah cerita tentang cerita perjalanan atau pelayaran seseorang dari suatu tempat ke tempat lain. Contoh: Kisah Perjalanan Abdullah ke Negeri Kelantan, Kisah Abdullah ke Jedah.
o    Dongeng adalah suatu cerita yang bersifat khayal. Dongeng sendiri banyak ragamnya, yaitu sebagai berikut:
a.    Fabel adalah cerita lama yang menokohkan binatang sebagai lambang pengajaran moral (biasa pula disebut sebagai cerita binatang). Beberapa contoh fabel, adalah: Kancil dengan Buaya
b.    Mite (Mitos) adalah cerita-cerita yang berhubungan dengan kepercayaan terhadap sesuatu benda atau hal yang dipercayai mempuyai kekuatan gaib. Contoh-contoh sastra lama yang termasuk jenis mitos, adalah: Nyai Roro Kidul.
c.    Legenda adalah cerita lama yang mengisahkan tentang riwayat terjadinya suatu tempat atau wilayah. Contoh: Legenda Banyuwangi,.
d.    Sage adalah cerita lama yang berhubungan dengan sejarah, yang menceritakan keberanian, kepahlawanan, kesaktian dan keajaiban seseorang. Beberapa contoh sage, adalah: Calon Arang.
e.    Parabel adalah cerita rekaan yang menggambarkan sikap moral atau keagamaan dengan menggunakan ibarat atau perbandingan. Contoh: Kisah Para Nabi.
f.    Dongeng jenaka adalah cerita tentang tingkah laku orang bodoh, malas, atau cerdik dan masing-masing dilukiskan secara humor. Contoh: Pak Pandir.
g.    Cerita berbingkai adalah cerita yang di dalamnya terdapat cerita lagi yang dituturkan oleh pelaku-pelakunya. Contoh: Seribu Satu Malam.
o    Bidal, adalah cara berbicara dengan menggunakan bahasa kias. Bidal terdiri dari beberapa macam, diantaranya :
a.    Pepatah adalah suatu peribahasa yang mengunakan bahasa kias dengan maksud mematahkan ucapan orang lain atau untuk menasehati orang lain.Contoh: Malu bertanya sesat di jalan.
b.    Tamsil (ibarat) adalah suatu peribahasa yang berusaha memberikan penjelasan dengan perumpamaan dengan maksud menyindir, menasihati, atau memperingatkan seseorang dari sesuatu yang dianggap tidak benar.Contoh: Tua-tua keladi.
c.    Perumpamaan adalah suatu peribahasa yang digunakan seseorang dengan cara membandingkan suatu keadaan atau tingkah laku seseorang dengan keadaan alam,benda, atau makhluk alam semesta. Contoh: Seperti anjing makan tulang.
d.    Pemeo adalah suatu peribahasa yang digunakan untuk berolok-olok, menyindir atau mengejek seseorang atau suatu keadaan. Contoh : Ladang Padang.
b. Puisi Lama
Sajak atau puisi rakyat adalah kesustraan rakyat yang sudah tertentu bentuknya, biasanya terjadi dari beberapa deret kalimat, ada yang berdasarkan mantra, ada yang berdasarkan panjang pendek suku kata, lemah tekanan suara, atau hanya berdsarkan irama (Danandjaja, 1997: 46).
o    Lagu-lagu Daerah, yaitu syair-syair yang dinyanyikan atau ditembangkan dengan irama yang indah dan menarik. Seperti: kagu-kagu gondang, lagu-lagu calung, lagu-lagu celempungan.
o    Mantra adalah merupakan puisi tua, keberadaannya dalam masyarakat Melayu pada mulanya bukan sebagai karya sastra, melainkan lebih banyak berkaitan dengan adat dan kepercayaan.
                Contoh :
          Assalammu’alaikum putri satulung besar
               Yang beralun berilir simayang
          Mari kecil, kemari
          Aku menyanggul rambutmu
                               Aku membawa sadap gading
                        Akan membasuh mukamu
o    Gurindam adalah puisi lama yang berasal dari Tamil (India)
                                      Contoh :
                   Kurang pikir kurang siasat (a)
                   Tentu dirimu akan tersesat (a)

                   Barang siapa tinggalkan sembahyang ( b )
                   Bagai rumah tiada bertiang ( b )

                   Jika suami tiada berhati lurus ( c )
                   Istri pun kelak menjadi kurus ( c )
o    Syair adalah puisi lama yang berasal dari Arab.
                          Contoh :
                  Pada zaman dahulu kala (a)
                  Tersebutlah sebuah cerita (a)
                  Sebuah negeri yang aman sentosa (a)
                  Dipimpin sang raja nan bijaksana (a)

o    Pantun adalah puisi Melayu asli yang cukup mengakar dan membudaya dalam masyarakat.
                          Contoh :
           Ada pepaya ada mentimun (a)
           Ada mangga ada salak (b)
           Daripada duduk melamun (a)
           Mari kita membaca sajak (b)
o    Talibun adalah pantun jumlah barisnya lebih dari empat baris, tetapi harus genap misalnya 6, 8, 10 dan seterusnya.
Jika satu bait berisi enam baris, susunannya tiga sampiran dan tiga isi.
Jika satiu bait berisi delapan baris, susunannya empat sampiran dan empat isi.
Jadi :
Apabila enam baris sajaknya a – b – c – a – b – c.
Bila terdiri dari delapan baris, sajaknya a – b – c – d – a – b – c – d
                      Contoh :
               Kalau anak pergi ke pekan
               Yu beli belanak pun beli sampiran
               Ikan panjang beli dahulu

c. Drama Lama
Drama lama adalah drama khayalan yang umumnya menceritakan tentang
kesaktian, kehidupan istanan atau kerajaan, kehidupan dewa-dewi, kejadian luar
biasa, dan lain sebagainya.
Dalam kebudayaan Indonesia kita mengenal berbagai macam drama yang
merupakan drama klasik atau bisa disebut juga drama tradisional, seperti wayang
orang, ludruk, ketoprak dan lenong.

1.    Ludruk
2.    Wayang
3.    Wayang Wong (wayang orang) 

1.    Folklor Setengah Lisan
o    Kepercayaan dan takhayul
o    Permainan (kaulinan) rakyat dan hiburan-hiburan rakyat
o    Drama rakyat Seperti: wayang golek, sandiwara, reog, calung, longser, banjet, ubrug, dll.
o    Tari Seperti: tari tayub, tari keurseus, tari ronggeng gunung, tari topeng, dll.
o    Adat atau tradisi
Contohnya: tradisi upacara menanam padi.
o    Pesta-pesta rakyat.
Contohnya: pesta rakyat kawaluan Baduy.
2.    Folklor Bukan Lisan
          Folklor bukan lisan dapat dibagi menjadi dua golongan/bagian, yaitu: Folklor yang materiil, dan Folklor yang bukan materiil
    Folklor Materiil
o    Arsitektur rakyat. Seperti: bentuk julang ngapak, tagog anjing, sontog, duduk jandela, dll.
o    Seni kerajinan tangan. Seperti: seni batik, anyaman, patung, ukiran, bangunan, dll.
o    Pakaian dan perhiasan. Seperti: Kebaya, baju kampret, totopong, bendo, pendok, giwang, penitik, kalung, gengge, siger, mahkuta, kelom geulis, payung, dll.
o    Obat-obat rakyat. Seperti: jamu-jamuan, daun-daunan, kulit pohon, buah, getah, dan jampe-jampe.
o    Makanan dan minuman. Seperti: awug, tumpeng, puncakmanik, dupi, lontong, ketupat, angleng, wajit, dodol, kolotong, opak, ranginang, ulen, liwet, kueh cuhcur, surabi, bakakak, dadar gulung, aliagrem, dan minuman: lahang, wedang, bajigur, bandrek, dll.
o    Alat-alat musik. Seperti: kacapi, suling, angklung, calung, dogdog, kendang, gambang, rebab, celempung, terebang, tarompet, dll.
o    Peralatan dan senjata. Seperti: rumah tanga; nyiru, dingkul, ayakan, sirib, dulang, dll. Alat pertanian: pacul, parang, wuluku, garu, caplakan, kored, congrang, patik, dekol, balicong, bedog, peso raut, peso rajang, arit, dll. Senjata: tombak, paser, ketepel, sumpit, badi, keris, dll.
o    Mainan. Seperti: ucing sumput, pris-prisan, engkle-engklean, sondah, sapintrong, congklak, damdaman, kasti, langlayangan, papanggalan, luncat galah, kukudaan, dll.
    Folklor Bukan Materil
o    Bahasa isyarat (gesture) Seperti: bersiul, mengacungkan jempol, mengedipkan mata, melambaikan tangan, mengangguk, menggeleng, mengepalkan tangan, dll.
o    Laras musik Seperti: laras salendro, laras pelog, laras dedegungan, laras madenda, dll.
3.    Fungsi Folklor
     Folklor mempunyai fungsi untuk mendukung berbagai kegiatan dilingkungan masyarakat. Kedudukan atau fungsi folklor yang telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat ini dapat dilihat dalam Tradisi Sya’banan di Dusun Pringtutul Desa Kalisabuk Kecamatan Kesugihan Kabupaten Cilacap. Pada dasarnya fungsi dari acara ini antara lain sebagai media silaturahmi untuk mensucikan diri dari kesalahan yang telah diperbuat terhadap orang lain dalam rangka menyambut datangnya bulan suci Ramadhan.

1.    Puisi Lama

Puisi lama adalah puisi yang banyak terikat oleh aturan-aturan. Aturan-aturan itu antara lain jumlah baris dalam 1 bait, jumlah kata dalam 1 baris, persjakan, banyaknya suku kata tiap baris  maupun irama.
Ciri-ciri puisi lama yaitu : 
1.    Merupakan puisi rakyat yang tak dikenal nama pengarangnya.
2.    Disampaikan lewat mulut ke mulut, jadi merupakan sastra lisan.
3.    Sangat terikat oleh atura-aturan seperti jumlah baris tiap bait, jumlah suku kata maupun irama.
Jenis – jenis puisi lama adalah :
1.    Mantra
Mantra adalah ucapan-ucapan yang dianggap memiliki kekuatan gaib.
Ciri – ciri mantra yaitu :
1.    Berirama akhiran abc-abc,abcd-abcd, abcde-abcde.
2.    Bersifat lisan, sakti atau magis.
3.    Adanya perulangan.
4.    Metafora merupakan unsur penting.
5.    Bersifat esoferik (bahasa khusus antra pembicara   dan    lawan    bicara) dan misterius.
Contohnya :
Assalammu’alaikum putri satulung besar
Yang beralun berilir semayang
Mari kecil, kemari
Aku menyanggul rambutmu
Aku membawa sadap gading
Akan membasuh mukamu
2.    Pantun
Pantun adalah puisi yang bercirikan bersajak a-ba-b, tiap bait terdiri 4 baris, tiap baris terdiri dari 8-12 suku kata, 2 baris awal sebagai sampiran, 2 baris berikutnya sebagai isi. Pembagian pantun menurut isinya terdiri dari pantun anak, muda-mudi, agama atau nasihat, teka-teki, jenaka.
Ciri – ciri pantun yaitu :
1.    Setiap bait terdiri atas empat baris.
2.    Setiap baris terdiri dari 4 kata (8 sampai 12 suku kata).
3.    Rimanya a b a b atau bersajak silang.
4.    Baris pertama dan kedua merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempat merupakan isi.
Contohnya :
Kalau ada jarum patah
Jangan dimasukkan ke dalam peti
Kalau ada kataku yang salah
Jangan dimasukkan ke dalam hati
3.    Karmina
Karmina adalah pantun kilat seperti pantun tetapi pendek.
Ciri – ciri karmina yaitu :
1.    Setiap bait merupakan bagian dari keseluruhan.
2.    Bersajak aa-aa, aa-bb.
3.    Tidak  memiliki sampiran, hanya memiliki isi.
4.    Semua baris diawali huruf capital
5.    Semua baris diakhiri koma, kecuali baris ke-4 diakhiri tanda titik.
Contohnya :
Dahulu parang, sekarang besi (a)
Dahulu sayang sekarang benci (a)
4.    Seloka
Seloka adalah pantun berkait.
Ciri – ciri seloka yaitu :
1.    Ditulis empat baris memakai bentuk pantun atau syair,
2.    Namun ada seloka yang ditulis lebih dari empat baris,
 Contohnya :
Lurus jalan ke Payakumbuh,
Kayu jati bertimbal jalan
Di mana hari tak kan rusuh,
Ibu mati bapak berjalan
5.    Gurindam
Gurindam adalah puisi yang berdirikan tiap bait 2 baris, bersajak a-a-a-a, berisi nasihat.
Ciri – ciri gurindam yaitu :
1.    Terdiri atas dua baris.
2.    Berima akhir a a.
3.    Baris pertama merupakan syarat, baris kedua berisi akibat  dari apa yang disebut pada baris pertama.
4.    Kebanyakan isinya mengenai nasihat dan sindiran.
Contohnya :
Kurang pikir kurang siasat (a)
Tentu dirimu akan tersesat (a)
Barang siapa tinggalkan sembahyang (b)
Bagai rumah tiada bertiang (b)
Jika suami tiada berhati lurus (c)
Istri pun kelak menjadi kurus (c)
6.    Syair
Syair adalah puisi yang bersumber dari Arab dengan ciri tiap bait 4 baris, bersajak a-a-a-a, berisi nasihat atau cerita.
Ciri – ciri syair yaitu :
1.    Setiap bait terdiri dari empat baris.
2.    Setiap baris terdiri atas 3-4 kata.
3.    Rimanya a a a a atau bersajak lurus.
4.    Tidak ada sampiran, semua merupakan isi syair.
5.    Isi syair merupakan kisah atau cerita.
Contohnya :
Pada zaman dahulu kala (a)
Tersebutlah sebuah cerita (a)
Sebuah negeri yang aman sentosa (a)
Dipimpin sang raja nan bijaksana (a)
7.    Talibun
Talibun adalah pantun genap yang tiap bait terdiri dari 6,8 ataupun 10 baris.
Ciri – ciri talibun yaitu :
1.     Jumlah barisnya lebih dari empat baris, tetapi harus genap  misalnya, 6,8,10 dan seterusnya.
2.    Jika satu bait berisi enam baris, susunannya tiga sampiran dan tiga isi.
3.    Apabila enam baris sajaknya a-b-c-a-b-c.
4.    Bila terdiri dari delapan baris, sajaknya a-b-c-d-a-b-c-d

contohnya :
Kalau anak pergi ke pekan
Yu beli belanak pun beli sampiran
Ikan panjang beli dahulu
        Kalau anak pergi berjalan
        Ibu cari sanak pun cari isi
        Induk semang cari dahulu

2.    Prosa Lama
Prosa lama merupakan karya sastra yang belum mendapat pengaruh dari sastra atau kebudayaan barat. Karya sastra prosa lama yang mula-mula timbul disampaikan secara lisan, disebabkan karena belum dikenalnya bentuk tulisan. Setelah agama dan kebudayaan Islam masuk ke Indonesia, masyarakat menjadi akrab dengan tulisan, dan bentuk tulisan pun mulai banyak dikenal. Sejak itulah sastra tulisan mulai dikenal dan sejak itu pulalah babak-babak sastra pertama dalam rentetan sejarah sastra Indonesia mulai ada.
Adapun bentuk-bentuk sastra prosa lama adalah :
1.    Hikayat, berasal dari India dan Arab, berisikan cerita kehidupan para dewi, peri, pangeran, putri kerajaan, serta raja-raja yang memiliki kekuatan gaib. Kesaktian dan kekuatan luar biasa yang dimiliki seseorang, yang diceritakan dalam hikayat kadang tidak masuk akal. Namun dalam hikayat banyak mengambil tokoh-tokoh dalam sejarah.
Contoh: Hikayat Hang Tuah, Kabayan, Si Pitung, Hikayat Si Miskin, Hikayat Indra Bangsawan, Hikayat Sang Boma, Hikayat Panji Semirang, Hikayat Raja Budiman.     
2.    Sejarah (tambo), adalah salah satu bentuk prosa lama yang isi ceritanya diambil dari suatu peristiwa sejarah. Cerita yang diungkapkan dalam sejarah bisa dibuktikan dengan fakta. Selain berisikan peristiwa sejarah, juga berisikan silsilah raja-raja. Sejarah yang berisikan silsilah raja ini ditulis oleh para sastrawan masyarakat lama.
Contoh: Sejarah Melayu karya datuk Bendahara Paduka Raja alias Tun Sri Lanang yang ditulis tahun 1612.
3.    Kisah, adalah cerita tentang cerita perjalanan atau pelayaran seseorang dari suatu tempat ke tempat lain.
Contoh: Kisah Perjalanan Abdullah ke Negeri Kelantan, Kisah Abdullah ke Jedah.
4.    Dongeng, adalah suatu cerita yang bersifat khayal. Dongeng sendiri banyak ragamnya,  yaitu sebagai berikut :
    Fabel, adalah cerita lama yang menokohkan binatang sebagai lambang pengajaran   moral (biasa pula disebut sebagai cerita binatang).
Beberapa contoh fabel, adalah: Kancil dengan Buaya, Kancil dengan Harimau, Hikayat Pelanduk Jenaka, Kancil dengan Lembu, Burung Gagak dan Serigala, Burung Bangau dengan Ketam, Siput dan Burung Centawi, dll.
    Mite (Mitos), adalah cerita-cerita yang berhubungan dengan kepercayaan terhadap sesuatu benda atau hal yang dipercayai mempuyai kekuatan gaib.
Contoh-contoh sastra lama yang termasuk jenis mitos, adalah: Nyai Roro Kidul, Ki Ageng Selo, Dongeng tentang Gerhana, Dongeng tentang Terjadinya Padi, Harimau Jadi-Jadian, Puntianak, Kelambai, dll.
    Legenda, adalah cerita lama yang mengisahkan tentang riwayat terjadinya suatu tempat atau wilayah.
Contoh: Legenda Banyuwangi, Tangkuban Perahu, dll.
    Sage, adalah cerita lama yang berhubungan dengan sejarah, yang menceritakan keberanian, kepahlawanan, kesaktian dan keajaiban seseorang.
Beberapa contoh sage, adalah: Calon Arang, Ciung Wanara, Airlangga, Panji, Smaradahana, dll.
    Parabel, adalah cerita rekaan yang menggambarkan sikap moral atau keagamaan dengan menggunakan ibarat atau perbandingan.
Contoh: Kisah Para Nabi, Hikayat Bayan Budiman, Mahabarata, Bhagawagita, dll.
    Dongeng jenaka, adalah cerita tentang tingkah laku orang bodoh, malas, atau cerdik dan masing-masing dilukiskan secara humor.
Contoh: Pak Pandir, Lebai Malang, Pak Belalang, Abu Nawas, dll.
5.    Cerita berbingkai, adalah cerita yang di dalamnya terdapat cerita lagi yang dituturkan oleh pelaku-pelakunya.
Contoh: Seribu Satu Malam.
6.    Kisah
Karya sastra lama yang berisikan cerita tentang cerita perjalanan atau pelayaran seseorang dari suatu tempat ke tempat lain. Contoh kisah dalam karya sastra lama, antara lain:
a.    Kisah Perjalanan Abdullah ke Negeri Kelanta.
b.    Kisah Abdullah ke Jedah.

3.    Drama Lama / Drama Klasik
Drama lama adalah drama khayalan yang umumnya menceritakan tentang
kesaktian, kehidupan istanan atau kerajaan, kehidupan dewa-dewi, kejadian luar
biasa, dan lain sebagainya.
Dalam kebudayaan Indonesia kita mengenal berbagai macam drama yang
merupakan drama klasik atau bisa disebut juga drama tradisional, seperti wayang
orang, ludruk, ketoprak dan lenong.
a.    Ludruk
Ludruk merupakan teater tradisional yang bersifat kerakyatan di daerah Jawa Timur, berasal dari daerah Jombang. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa dengan dialek Jawa Timuran. Dalam perkembangannya ludruk menyebar ke daerah-daerah sebelah barat seperti karesidenan Madiun, Kediri, dan sampai ke Jawa Tengah. Ciri-ciri bahasa dialek Jawa Timuran tetap terbawa meskipun semakin ke barat makin luntur menjadi bahasa Jawa setempat. Peralatan musik daerah yang digunakan, ialah kendang, cimplung, jidor dan gambang dan sering ditambah tergantung pada kemampuan grup yang memainkan ludruk tersebut. Dan lagu-lagu (gending) yang digunakan, yaitu Parianyar, Beskalan, Kaloagan, Jula-juli, Samirah, Junian.
Pemain ludruk semuanya adalah pria. Untuk peran wanitapun dimainkan oleh pria. Hal ini merupakan ciri khusus ludruk. Padahal sebenarnya hampir seluruh teater rakyat di berbagai tempat, pemainnya selalu pria (randai, dulmuluk, mamanda, ketoprak), karena pada zaman itu wanita tidak diperkenankan muncul di depan umum.
b.    Wayang
Wayang merupakan suatu bentuk teater tradisional yang sangat tua, dan dapat ditelusuri bagaimana asal muasalnya. Dalam menelusuri sejak kapan ada pertunjukan wayang di Jawa, dapat kita temukan berbagai prasasti pada Zaman Raja Jawa, antara lain pada masa Raja Balitung. Pada masa pemerintahan Raja Balitung, telah ada petunjuk adanya pertunjukan Wayang seperti yang terdapat pada Prasasti Balitung dengan tahun 907 Masehi. Prasasti tersebut mewartakan bahwa pada saat itu telah dikenal adanya pertunjukan wayang.
Petunjuk semacam itu juga ditemukan dalam sebuah kakawin Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa, pada Zaman Raja Airlangga dalam abad ke-11. Oleh karenanya pertunjukan wayang dianggap kesenian tradisi yang sangat tua. Sedangkan bentuk wayang pada zaman itu belum jelas tergambar model pementasannya.
Awal mula adanya wayang, yaitu saat Prabu Jayabaya bertakhta di Mamonang pada tahun 930. Sang Prabu ingin mengabadikan wajah para leluhurnya dalam bentuk gambar yang kemudian dinamakan Wayang Purwa. Dalam gambaran itu diinginkan wajah para dewa dan manusia Zaman Purba. Pada mulanya hanya digambar di dalam rontal (daun tal). Orang sering menyebutnya daun lontar. Kemudian berkembang menjadi wayang kulit sebagaimana dikenal sekarang.
c.    Wayang Wong (wayang orang)
Wayang Wong dalam bahasa Indonesia artinya wayang orang, yaitu pertunjukan wayang kulit, tetapi dimainkan oleh orang. Wayang wong adalah bentuk teater tradisional Jawa yang berasal dari Wayang Kulit yang dipertunjukan dalam bentuk berbeda: dimainkan oleh orang, lengkap dengan menari dan menyanyi, seperti pada umumnya teater tradisional dan tidak memakai topeng. Pertunjukan wayang orang terdapat di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sedangkan di Jawa Barat ada juga pertunjukan wayang orang (terutama di Cirebon) tetapi tidak begitu populer. Lahirnya Wayang Orang, dapat diduga dari keinginan para seniman untuk keperluan pengembangan wujud bentuk Wayang Kulit yang dapat dimainkan oleh orang. Wayang yang dipertunjukan dengan orang sebagai wujud dari wayang kulit -hingga tidak muncul dalang yang memainkan, tetapi dapat dilakukan oleh para pemainnya sendiri. Sedangkan wujud pergelarannya berbentuk drama, tari dan musik.
Wayang orang dapat dikatakan masuk kelompok seni teater tradisional, karena tokoh-tokoh dalam cerita dimainkan oleh para pelaku (pemain). Sang Dalang bertindak sebagai pengatur laku dan tidak muncul dalam pertunjukan. Di Madura, terdapat pertunjukan wayang orang yang agak berbeda, karena masih menggunakan topeng dan menggunakan dalang seperti pada wayang kulit. Sang dalang masih terlihat meskipun tidak seperti dalam pertunjukan wayang kulit. Sang Dalang ditempatkan dibalik layar penyekat dengan diberi lubang untuk mengikuti gerak pemain di depan layar penyekat. Sang Dalang masih mendalang dalam pengertian semua ucapan pemain dilakukan oleh Sang Dalang karena para pemain memakai topeng. Para pemain di sini hanya menggerakgerakan badan atau tangan untuk mengimbangi ucapan yang dilakukan oleh Sang Dalang. Para pemain harus pandai menari. Pertunjukan ini di Madura dinamakan topeng dalang. Semua pemain topeng dalang memakai topeng dan para pemain tidak mengucapkan dialog.

Rangkuman Bagian Ketiga
BAB  I  PENGERTIAN FILOLOGI
Filologi adalah suatu pengetahuan tentang sastra – sastra dalam arti yang luas yang mencakup bidang kebahasaan, kesastraan, dan kebudayaan.
a.    Etimologi Kata Filologi
Secara etimologi filologi berasal dari kata Yunani philos yang berarti ‘cinta’ dan kata logos yang berarti ‘kata’. Pada kata filologi, kedua kata tersebut membentuk arti ‘cinta kata’ atau ‘senang bertutur’ (Shipley, 1961, wagenvoort, 1947).
b.    Filologi Sebagai Istilah
Secara istilah filologi mempunyai beberapa arti sebagai berikut :
1)    Filologi sudah dipakai sejak abad ke-3 sebelum masehi, oleh sekelompok ahli dari Aleksandria yang kemudian dikenal sebagai ahli filologi. Yang pertama – tama memakainya adalah Frastothenes (Reynoldds, 1968:1) yang bertujuan untuk menemukan bentuknya yang asli untuk mengetahui maksud pengarangnya dengan jalan menyisihkan kesalahan – kesalahan yang terdapat di dalamnya.
2)    Filologi pernah dipandang sebagi sastra sebagai ilmiah. Arti ini muncul ketika teks – teks dikaji itu berupa karya sastra yang bernilai sastra tinggi ialah karya – karya Humeros.
3)    Filologi dipakai juga sebagai istilah untuk menyebut studi bahasa atau ilmu bahasa (linguistik).
4)    Dalam perkembangannya yang mutakhir, filologi memandang perbedaan yang ada dalam berbagai naskah sebagai suatu ciptaan dan menitikberatkan kerjanya pada perbedaan – perbedaan tersebut serta memandanngnya justrusebagai alternative yang positif.


c.    Objek Kajian 
Sebagaimana yang diuraikan di atas maka filologi mempunyai objek naskah dan teks. Oleh karena itu, perlu dibicarakan hal – hal mengenai seluk – beluk naskah, teks, dan tempat penyimpanan naskah.
i.    Naskah dan Teks
Dalam filologi istilah teks menunjukan pengertian sebagai suatu yang abstrak, sedangkan naskah merupakan sesuatu yang konkret. Jadi filologi mempunyai sasaran kerja yang berupa naskah.
Disamping itu, melihat wahana teks – teks filologi ada yang berupa teks lisan dan teks tulisan. Teks tulisan dapat berupa tulisan tangan (yang biasa disebut naskah) dan tulisan cetakan. Oleh karenanya, dilihat dari tradisi penyampaiannya, terdapat filologi lisan, filologi naskah, dan filologi cetakan. Kerja filologi lisan banyak bersangkutan dengan studi tradisi lisan yang merupakan tradisi penyampaian teks yang paling tua dan ada beberapa daerah yang masih melestarikan tradisi tersebut. Filologi naskah banyak berhubungan dengan pengetahuan mengenai kehidupan naskah mengenai berbagai segi penyaksian dengan tulisan tangan dan akibat – akibatnya. Filologi cetakan banyak berhubuungan dengan tradisi cetakan, tradisi yang mulai dipakai pada tahun 1450, yaitu saat ditemukan teknik mencetak oleh Gutenberg.
Naskah – naskah yang menjadi sasaran kerja filologi dipandang sebagai hasil budaya yang berupa cipta sastra. Naskah itu dipandang sebagai cipta sastra karena teks yang terdapat dalam naskah itu merupakan suatu keutuhan dan mengungkapkan pesan.  
ii.    Tempat Penyimpana Naskah
Naskah biasanya disimpan pada pelbagai catalog diperpustakaan dan museum yang terdapat beberapa Negara. Kecuali Indonesia, naskah – naskah teks Nusantara pada saat ini sebagian tersimpan di museum – museum di 26 negara, yaitu di Malaysia, Singapura, Brunei, Srilangka, Thailand, Mesir, Inggris, Jerman Barat, Jerman Timur, Rusia, Austria, Hongaria, Swedia, Afrika Selatan, Belanda, Irlandia, Amerik Serikat, Swis, Denmark, Norvegia, Polandia, Cekoslowakia, Spanyol, Itali, Perancis, dan Belgia (Chambergir dalam Sulastin, 1981 : 12).

d.    Tujuan Filologi
  Melalui penggarapan naskah, filologi mengakaji teks klasik dengan tujun mengenalinya sesempurnanya – sempurnanya dan selanjutnya menempatkannya dalam keeluruhan sejarah suatu bangsa.

i.    Tujuan Umum Filologi
1)    Memahami sejauh mungkin kebudayaan suatu bangsa melalui hasil sastranya, baik lisan maupun tertulis,
2)    Memahami makna dan fungsi teks bagi masyarakat penciptanya, dan
3)    Mengungkapkan nilai – nilai budaya lama sebagai alternative pengembangan kebudayaan.

ii.    Tujuan khusus Filologi
1)    Menyunting sebuah teks yang dipandang paling dekat dengan teks aslinya,
2)    Mengungkap sejarah terjadinya teks dan sejarah perkembangannya, dan
3)    Mengungkap resepsi pembaca pada setiap kurun penerimaannya.


BAB II KEDUDUKAN FILOLOGI DI ANTARA ILMU – ILMU LAIN

a.    Ilmu Bantu Filologi
Filologi telah dikemukakan bahwa objek filologi ialah terutama naskah – naskah yang mengandung teks sasta lama atau sastra tradisional, yaitu sastra yang dihasilkan masyarakat yang masih dalam keadaan tradisional, masyarakat yang belum memperlihatkan pengaruh Barat secara intensif.
i.    Linguistik
Ada beberapa cabang linguistik yang dipandang dapat membantu filologi, antara lain yaitu etimologi, sosiolinguistik, dan stalistika. Etimologi, ilmu yang mempelajari asal – usul dan sejarah kata, telah lama menarik perhatian ahli filologi.
Sosiolinguistik, sebagai cabang linguistik yang mempelajari hubungan dan saling pengaruhi antara perilaku bahasa dan perilaku masyarakat, sangat bermanfaat untuk menekuni bahasa teks, misalnya ada tidaknya unda asuk bahasa, ragam bahasa.
Selanjutnya stalistika, yaitu cabang ilmu linguistic yang menyelidiki bahasa sastra, khususnya gaya bahasa, diharapkan dapat membantu filologi dalam pencarian teks asli atau mendekati aslinya dan dalam penentuan usia teks.
ii.    Pengetahuan Bahasa – bahasa yang Mempengaruhi Bahasa Teks
Bahasa yang mempengaruhi bahasa – bahasa naskah Nusantara, yaitu bahasa Sansekerta, Tamil, Arab, Persi, dan bahasa daerah yang serumpun dengan bahasa naskah.
iii.    Ilmu sastra
Ilmu sastra telah dipelajari sejak zaman Aristoteles, Buku Poetika,hasil karya Aristoteles yang sangat terkenal, merupakan karya besar tentang teori sastra yang paling awal (Sutrisno, 1981 : 6). Dalam memperlihatkan perkembangan ilmu sasta sastra sepanjang masa, Abrams (1953) oleh Teuuw (1980) dinilai telah berhasil dengan baik dan tepat. Berdasarkan cara menerangkan dan menilai karya – karya sastra , Abrams (1981 : 36 – 37) membedakan tipe – tipe pendekatan (kritik) tradisional menjadi empat :
1.    Pendekatan mimetik : menonjolkan aspek – aspek referensi, acuan karya sastra, dan kaitannya dengan dunia nyata,
2.    Pendekatan pragmatik : menonjolkan pengaruh karya sastra terhadap pembaca/pendengarnya,
3.    Pendekatan ekspresif : menonjolkan penulis karya sastra sebagai penciptanya, dan
4.    Pendekatan objektif : menonjolkan karya sebagai otonomi lepas dari latar belakang sejarahnya dan dari diri erta niat penulisnya.
Ketiga pendekatan petama di atas termasuk pendekatan yang oleh Wellek dan Warren (1956) disebut pendekatan ekstrinsik, yaitu pendekatan yang menerangkan karya sastra melalui latar belakangnya, keadaan sekitarnya, dan sebab – sebab luarnya, sedangkan pendekatan yang keempat termasuk pendekatan yang disebut pendekatan intrinsik, yaitu pendekatan yang berusaha menafsirkan dan menganalisis karya sastra dengan teks dan metode yang diarahkan kepada dan berasal dari karya sastra itu sendiri (Sutrisno, 1981 : 6)
Selain dari pendekatan – pendekatan di atas, terdapat satu pendekatan lagi yang akhir – akhir ini tampak banyak dibicarakan, yakni pendekatan reseptif, suatu pendekatan yang lebih menitikberatkan kepada tanggapan pembaca atau penikmat sastra, bukan tanggapan perseorangan melainkan tanggapan kelompok masyarakat atau masyaraka (Abrams, 1981 : 155).
Di samping hal – hal di atas, dalam ilmu sastra muncul suatu cabang yang relatif baru, yaitu sosiologi sastra, suatu ilmu yang melakukan pendekatan terhadap sastra dengan mempertimbangkan segi – segi kemasyarakatan. Hal – hal yang dipermasalhkannya (Damono, 1978), antara lain :
o    Konteks sosial pengarang, bagaimana pengarang mendapatkan nafkah, profesionalisme kepengarangan, masyarakat yang dituju si pengarang,
o     Sastra sebagai cermin masyarakat, dan
o    Fungsi sastra dalam masyarakat.
iv.    Hindu, Budha, dan Islam
v.    Sejarah Kebudayaan
vi.    Antropologi
vii.    Folklor

b.    Filologi sebagai Ilmu Bantu Ilmu – ilmu Lain
Filologi ialah terutama teks atau naskah lama, sedangkan hasil kegiatannya, antara lain, berupa suntingan naskah. Ada beberapa macam suntingan menurut metode yang digunakan, misalnya suntingan diplomatis, fotografis, popular, kritis, atau ilmiah.
i.    Filologi sebagai Ilmu Bantu Linguistik
ii.    Filologi sebaga Ilmu Bantu Ilmu Sastra
iii.    Filologi sebagai Ilmu Bantu Sejarah Kebudayaan
iv.    Filologi sebagai Ilmu Bantu Ilmu Sejarah
v.    Filologi sebagai Ilmu Bantu Hukum Adat
vi.    Filologi sebagai Ilmu Bantu Sejarah Perkembangan Agama
vii.    Filologi sebagai Ilmu Bantu Filsafat
 
BAB III SEJARAH PERKEMBANGAN FILOLOGI

Ilmu filologi Yunani lama merupkan ilmu yang penting untuk menyajikan kebudayaan Yunani lama yang hingga abad ini tetap berperan dalam ilmu pengetahuan.

a.    Filologi di Eropa Daratan
Dalam sejarahnya, ilmu filologi tumbuh dan berkembang di kawasan kerajaan Yunani, yaitu di kota Iskandariyah di benua Afrika pantai utara.

i.    Awal Pertumbuhannya
Awal kegiatan filologi di kota Iskandariyah dilakukan oleh bangsa Yunani pada abad ke-3 Sebelum Masehi. Di kota Iskandariyah pada abad ke-3 Sebelum Masehi terdapat pusat ilmu pengetahuan karena ditempat itu banyak dilakukan telaah naskah – naskah lama oleh para ahli yang bekerja disana (Van Dale, 1973 : 580, Encylopaedia Brittanica, 1970, jilid 15:1032)
Metode yang mereka gunakan untuk menelaah naskah – naskah itu kemudian dikenal dengan ilmu filologi. Metode taraf awal itu kemudian berkembang dari abad ke abad, di berbagai Negara, oleh berbagai bangsa hingga waktu ini.
Sesudah Iskandariyah jatuh kedalam kekuasaan Romawi, kegiatan filologi berpindah ke Eropa Selatan, berpuat di kota Roma dan melanjutkan tradisi filologi Yunani Lama tetap merupakan bahan telaah utama dan bahasa Yunani tetap diganakan. Abad ke-1 merupakan masa perkembangan tradisi Yunani berupa pembuatan resensi terhadap naskah – naskah tertentu. Perkembangan ini berlanjutan hingga pecahnya kerajaan Romawi pada abad ke-4 menjadi kerajaan Romawi Barat dan Romawi Timur. Peristiwa ini mempengaruhi perkembangan filologi selanjutnya.

ii.    Filologi di Romawi Barat dan Romawi Timur
1.    Filologi di Romawi Barat
Kegiatan filologi di Romawi Barat dirarahkan kepada penggarapan naskah – naskah dalam bahasa latin yang sejak abad ke-3 S.M. sejk abad ke-4, teks mulai ditulis dalam bentuk buku yang disebut codex dan menggunakan bahan kulit binatang, terutama kulit donba, dikenal dengan nama perkamen.
2.    Filologi di Romawi Timur
Di Romawi Timur mulai muncul pusat – pusat studi teks Yunani, misalnya di Antiocn, Athena, Iskandariyah, Beirut, Konstantinopel dan Gaza (Reynold dan Wilson, 1975:45), yang masing – masing merupakan pusat studi dalam bidang tertentu. Iskandariyah menjadi pusat studi bidang filsafat Aristoteles, Beirut pada bidang hokum. Pusat – pusat studi ini selnjutnya berkembang menjadi perguruan tinggi, yaitu lembaga yang menghasilkan tenaga ahli dalam bidang pemerintahan, pendidikan, dan administrasi.

iii.    Filologi di Zaman Renaisans
 Renaisans adalah periode yang mengambil lagi kebudayaan klasik sebagai pedoman hidup, dan dalam arti luas, Renaisasns adalah periode rakyat cenderung kepada dunia Yunani atau kepada aliran humanisme.
Kata humanism berasal dari kata humaniora (kata Yunani) atau umanista (kata Latin) yang semula berarti guru yang mengelola tata bahasa.
Pada zaman Renaisans, kegiatan telaah teks lama timbul kembali setelah berabad – abad diabaikan. Jatuhnya kerajaan Romawi Timur ke tangan bangsa Turki pada abad ke-15 mendorong banyak ahli filologi dari Romawi Timur berpindah ke Eropa Selatan, terutama ke kota Roma.
Penemuan mesin cetak oleh Gutemberg dari jerman pada abad ke-15 menyebabkan perkembangan baru dalam bidang filologi. Dalam pekembangan selanjutnya, di Eropa ilmu filologi diterapkan juga untuk menelaah naskah lama nonklasik, seprti naskah Germania dan Komania.

b.    Filologi di Kawasan Timur Tengah
Negara – Negara Timur Tengah mendapatkan ide filsapati dan eksakta terutama dari bangsa Yunani Lama, yang semenjak zaman Iskandar Zulkarnain telah menanamkan kebudayaan di Mesir, Siia, dan beberapa tempat lain. Sejak abad ke-4 beberapa kota di Timur Tengah telah memiliki perguruan tinggi, pusat studi berbagai ilmu pengetahuan yang berasal dari Yunani, seperti Gaza sebagai ilmu oratori, Beirut dalam bidang hokum, Edessdalam kebudayaan Yunani pada umumnya, demukian ppula di Antioch.

c.    Filologi di Kawasan Asia India
i.    Naskah – naskah India
ii.    Telaah Filologi terhadap Naskah – naskah India

d.    Filologi di kawasan Nusantara
Nusantara adalah kawasan yang termasuk Asia Tenggara. Kawasan ini, sebagai Asia pada umumnya, sejak kurun waktu yang lama memiliki peradaban tinggi dan mewariskan kebudayaan kepada anak keturunannya melalui berbagai media, antara lain, media tulisan yang berupa naskah – naskah.
i.    Naskah Nusantara dan Para Pedagang Barat
ii.    Telaah Naskah Nusantara oleh Para Penginjil
iii.    Kegiatan Filologi terhadap Naskah Nusantara
Kajian ahli filologi terhadap naskah – naskah Nusantara bertujuan untuk menyunting, membahas serta menganalisisnya, atau ntuk kedua – duanya.
Perkembangan selanjutnya, naskah itu disunting dalam bentuk transliterasi dalam huruf latin, misalnya wrettasantjaja (1849) oleh Cohen Stuart.
Pada abad ke-20, banyak diterbitkan naskah keagamaan, baik naskah Melayu maupun nasakah Jawa sehingga kandungan isinya dapat dikaji oleh ahli teologi serta selanjutnya mereka menghasilkan karya ilmiah dalam bidang tersebut.


BAB IV TEORI FILOLOGI DAN PENERAPANNYA

4.1    Masalah Naskah – Teks
4.1.1    Pengertian Naskah
Objek penelitian filologi adalah tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya bangsa masa lampau.
4.1.1.1    Beda Naskah dan Prasasti
Baik naskah maupun prasasti kedua – duanya ditulis dengan tangan. Akan tetapi, antara keduanya dapat dicatat beberapa perbedaan :
1.    Naskah pada umumnya berupa buku atau bahan tulisan tangan seperti diterangkan.
2.    Naskah pada umumnya panjang, karena memuat cerita lengkap.
3.    Naskah pada umumnya anonim dan tidak berangka tahun.
4.    Naskah berjumlah banyak karena disalin.
5.    Naskah yang paling tua Tjandra – karana (dalam bahasa jawa kuna) berasal kira – kira dari abad ke-8.
4.1.1.2    Kodikologi
Kodikologi adalah ilmu kodeks. Kodeks adalah bahan tulisan tangan. Teks bersih yang ditulis pengarang disebut otograf, sedangkan salinan bersih oleh orang – orang lain disebut apograf.
4.1.2    Pengertian Teks
Teks artinya kandungan atau muatan naskah, sesuatu yang abstrak yang hanya dapat dibayangkan saja. Perbedaan antara naskah dan teks menjadi jelas apabila terdapat naskah yang muda tetapi mengandng teks yang tua. Teks terdiri atas isi, yaitu ide – ide atau amanat yang hendak disampaikan pengarang kepada pembaca dan bentuk. Bentuk adalah cerita dalam teks yang dapat dibaca dan dipelajari menurut berbagai pendekatan melalui alur, perwatakan, gaya bahasa, dan sebagainya.
Dalam penjelmaan dan penurunannya, secara garis besar dapat disebutkan adanya tiga macam teks :
1.    Teks lisan (tidak tertulis),
2.    Teks naskah tulisan tangan, dan
3.    Teks cetakan

4.1.2.1    Tekstologi
Ilmu yang mempelajari seluk – beluk teks disebut tekstologi, yang antara lain meneliti penjelmaan dan penurunan teks sebuah karya sastra, penafsiran, dan pemahamannya
4.1.2.2    Terjadinya Teks
4.1.2.3    Teks Tulisan – Lisan

4.1.3    Penyaliana
4.1.4    Penentuan Umur
4.1.5    Istilah Naskah Teks di Luar Konteks Filologi

4.2    Kritik Teks
4.2.1    Pebgertian Kritik Teks
4.2.2    Paleografi
Paleografi adalah ilmu macam – macam tulisan kuna. Ilmu ini mutlak perlu untuk penelitian tulisan kuna atas batu, logam, atau bahan lainnya. Paleografi mempunyai dua tujuan (Niemeyer, 1947:47).
Pertama    : menjabarkan tulisan kuna karena beberapa tulisan kuna sangat sulit dibaca.
Kedua    : menemptkan berbagai peninggalan terulis dalam rangka perkembangan umum tulisannya dan atas dasar itu menentukaan.

4.2.3    Transliterasi
Transliterasi artinya penggantian jenis tulisan, huruf demi huruf dari abjad yang lain. Istilah ini dipakai bersama – sama dengan istilah transkrip.
4.2.4    Perbandingan Teks

4.3    Metode Penelitian
4.3.1    Pencatatan dan Pengumpulan Naskah
4.3.2    Metode Kritik Teks
Berdasarkan edisi – edisi yang telah ada, dapat dicatat beberapa metode yang pernah diterapkan.
4.3.2.1    Metode Intvitif
4.3.2.2    Metode Objektif
4.3.2.3    Metoe Gabungan
4.3.2.4    Metode Landasan
4.3.2.5    Metode Edisi Naskah Tunggal

4.3.3    Susunan Stema
Adapun penerapan metode filologi pada beberapa suntingan naskah yang kemudian menurut urutan tahun penerbitan.
1.    Het Bhomakawya (Teuuw, 1946)
2.    Adat Atjeh (Drewes dan Voorhoeve, 1958)
3.    Java in the 14th Century (Pigeud, 1960)
4.    Asrar Al-Insan fi Ma’rifa Al-Ruh wa’l-Rahman (Tudjimah, 1960)
5.    Hikayat Bandjar (Ras, 1968)
6.    Hikayat Andaken Panurat (Robson, 1969)
7.    Wangbang Wideya (Robson, 1971)
8.    Babad Buleleng (Worsley, 1972)
9.    Undang – Undang Malaka (Liaw Yook Fang, 1976)
10.    Arjunawijaya (Supomo, 1977)
11.    Hikayat Sri Rama (Achadiati Ikram, 1978)
12.    Adat Raja – Raja Melayu (Panuti Sudjiman, 1979)
13.    Hikayat Indraputra (Rujati Mulyadi, 1980)

BAB. V STUDI FILOLOGI BAGI PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN

5.1 Filologi dan Kebudayaan
Berita tentang hasil budaya masa lampau yang terungkap dalam sastra lama dapat dibaca dalam peninggalan yang berupa tulisan yaitu naskah. Karya sastra Nusantara yang pada saat ini tersimpan dalam naskah lama merupakan peninggalan pikiran para leluhur (nenek moyang). Sastra lama itulah yang menjadi satu-satunya sumber informasi yang tidak terlepas dari kemungkinan berbagai macam penafisiran.

5.1.1 Pengertian Filologi
Filologi adalah suatu pengetahuan tentang sastra, sastra dalam arti yang luas. Oleh karena itu, ahli filologi harus mempunyai bekal pengetahuan yang beraneka ragam. Adapun wilayah jangkauan studi filologi meliputi aspek kebahsaan, kesastraan, dan kebudayaan.

5.1.2 Pengertian Kebudayaan
Kebudayaan adalah kelompok adat kebiasaan pikiran, kepercayaan, dan nilai yang turun temurun dipakai oleh masyarakat pada waktu tertentu untuk menghadapi atau menyesuaikan diri terhadap segala sesuatu yang sewaktu-waktu timbul. Kebudayaan merupakan pengetahuan manusia yang diyakini kebenarannya oleh yang bersangkutan dan yang diselimuti serta menyelami perasaan-perasaan dan emosi-emosi manusia serta menjadi sumber untuk menilai, yaitu penilaian baik dan buruk, berharga atau tidak berharga, bersih atau kotor, dan sebagainya.

5.1.3 Peranan Filologi dalam Pengembangan Kebudayaan
Kebudayaan yang sudah ada beberapa abad yang lampau dapat dikenal kembali dalam bermacam-macam bentuk antara lain, dalam bentuk tulisan yang terdapat pada batu, candi-candi atau peninggalan purbakala yang lain, dan naskah-naskah. Selain itu, ada juga yang berbentuk lisan.

5.2 Filologi dan Kebudayaan Nusantara
Sastra daerah yang beraneka ragam itu turut mewarnai khazanah sastra nusantara dan merupakan alat penunjang untuk memperkaya kesastraan Indonesia pada umunya. Pengalaman-pengalaman jiwa yang dituangkan ke dalam karya sastra daerah itu dapat berfungsi sebagai alat yang tangguh untuk membendung arus masuknya kebudayaan asing yang tidak sesuai dengan kepribadian serta kepentingan bangsa Indonesia.

5.2.1 Letak Kepulauan Nusantara
Pada abad-abad yang lampau, dibeberapa tempat di wilayah kepulauan Nusantara itu pernah berdiri kerajaan-kerajaan besar, antara lain, di Jawa Kerajaan Majapahit, di Sumatra Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Samudra Pasai, dan di Kalimantan Kerajaan Kutai. Kerajaan-kerajaan itu pernah cemerlang dan besar pengaruhnya ke seluruh kepulauan Nusantara.

5.2.2 Aneka Budaya Nusantara Masa Kini
Penghuni kepulauan Nusantara sejak dahulu memiliki berbagai kegiatan dalam berbagai bidang, antara lain, dari peninggalan tertulis. Di samping itu, terdapat pula peninggalan yang berupa sastra lisan. Dalam sastra lisan, terungkap kreativitas bahasa berupa sastra yang didalmnya ditonjolkan hakikat kemanusiaan masyarakat Nusantara sehingga sampai sekarang ciptaan itu tetap mempunyai nilai dan fungsi.
Kebudayaan nusantara mengalami perjalanan yang panjang dan dipengaruhi oleh beberapa kebudayaan seperti kebudayaan Hindu, Budha, Islam, dan kebudayaan Barat. Kebudayaan asli di Nusantara, sebelum kedatangan kebudayaan Hindu, dikuasai oleh nila-nilai agama, nilai solidaritas, dan nilai seni. Kepercayaan animism dan dinamisme sangat kuat di dalam masyarakat.
Orang India datang ke daerah kebudayaan Nusantara dalam tiga gelombang, yakni awal abad ke-4, abad ke-8 sampai ke-9, dan abad ke-11 dengan membawa agama Hindu dan Budha serta kebudayaan dari tanah asalnya. Peninggalan tradisi tulisan dari abad India adalah tradisi Sulawesi Selatan yang diwakili oleh sastra Bugis dan Makassar (Peeuw, 1982:11) kedatangan kebudayaan India menyebabkan perubahan yang besar dalam masyarakat Nusantara, antara lain bangkitnya kerjaan-kerajaan besar dibawah pimpinan raja-raja penjelmaan dewa Wisnu dan Syiwa; istana raja menjadi pusat politik, ekonomi, agama, dan seni: masyarakat menjadi bertingkat-tingkat sesuai engan tingkatan dalam agama Hindu.
Agama Islam datang ke daerah kebudayaan Nusantara pada abad ke-20 dibawa oleh pedagang-pedagang India yang kebanyakan pengikut berbagai tarekat seperti Qadiyah Nagayabandiyah dan beberapa tarekat kecil yang berpusat pada seorang syech atau guru tasawuf. Mereka itulah yang menyebarkan agama Islam di Nusantara yang diwarnai oleh keyakinan mistik mereka.

5.2.3 Sumber Sejarah Kebudayaan Nusantara
Suatu ciri asasi dalam kenyataan sejarah bahwa kebudayaan Nusantara itu cenderung berkembang disepanjang pantai umur Sumatra sampai sepanjang pantai barat Semenanjung Malaka dan dataran rendah pedalaman Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di luar daerah itu, di antara pantai utara Jawa dari Banten sampai Surabaya, terdapat beberapa daerah yang pernah menjadi pusat kebudayaan (Bebler, 1963:9-10).
Pulau Jawa mempunyai dasar ekonomi agraris. Oleh karena itu, timbullah gotong-royong dalam kelompok rumah tangga yang bernama desa. Kepercayaan masyarakat Jawa asli disebut animisme. Dua tokoh yang selalu dipuja yaitu “Dewi Sri” dan “Nyi Roro Kidul” (Bebler,1963:10-11). Melalui berita sejarah, dapat diketahui bahwa Hinduisasi mulai berkembang di Jawa pada abad ke-7 dan ke-8 serta berakat kuat baru pada sekitar tahun 930 berkat perpindahan pusat pemerintahan Mataram waktu Galuh ke Jawa Timur pada zaman raja Sindek. Sejak itu proses sivilisasi di Jawa Timur meningkat (Slametmulyana, 1979:196: Zoetmulder, 1983:22).
Sastra Jawa Kuna yang tertua adalah Kakawin Ramayana, ceritanya mirip dengan Ramayana Walmikayang diperkirakan berasal dari abad ke-9 sekitar waktu dibangun, baik candi Borobudur yang bercorak Budha maupun candi Prambanan yang bercorak Hindu Syiwa. Sastra Jawa Kuna dalam sejarah sastra dan kebudayaan Nusantara mempunyai peranan yang khas, tidak hanya karena tuanya, tetapi karena sastra itu mempengaruhi sastra-sastra daerah se- Nusantara. Sebagai contoh, cerita wayang dalam bahasa Melayu, yakni Hikayat Pendawa Lima merupakan saduran Bharata Yuddha Jawa Kuna, Hikayat Sang Boma merupakan transformasi Melayu dari Bhomakawya Jawa Kuna.
Melalui kesusastraan Jawa, masuklah kedalam kesusastraan Melayu cerita-cerita yang diangkat dari Mahabharata dan Ramayana, misalnya Hikayat Pandawa Lebur, Hikayat Angkawijaya, Hikayat Sri Rama, dan lain-lain. Sumatra mempunyai dasar ekonomi penanaman merica, perdagangan, buruh, dan berburu. Sejak tahun 500, perdagangan Timur dan Barat melalui selat Malaka sudah ramai, lebih-lebih pada zaman Sriwijaya para pedagang Indonesia telah mengunjungi pelabuhan-pelabuhan Cina dan Pantai Timur Afrika. Pada abad ke-14, timbullah masyarakat muslim di Malaka yang kemudia pada abad ke-15 Malaka muncul sebagai pusat kerajaan Islam dan pusat kebudayaan. Pada abad ke-16, Samudra Pasai dan Malaka mencapai puncak kekuasaannya. Dari pusat-pusat kebudayaan ini kemudian Islam berkembang ke seluruh Nusantara (Sartono Kartodirdjo, 1975:88). Semangat rasionalisme dan intelektualisme Islam tersebar di kalangan istana dan kraton sampai kepada kalangan rakyat jelata. Hal itu dapat ditemukan bukti-bukti dari naskah-naskah yang berisi filsafat dan metafisika yang khusus ditulis untuk keperluan umum. Ada beberapa judul naskah melayu yang semula memakai nama Hindu diubah dengan judul yang bernapaskan Islam. Kata-kata Arab atau Persi masuk ke dalam karya sastra Melayu, misalnya Hikayat Marakarma diubah menjadi Hikayat Si Miskin, Hikayat Serangga Bayu diubah menjadi Hikayat Ahmad Muhammad, Hikayat Indera Jaya diubah menjadi Hikayat Syeh-I Mardan.
Sastra Islam Melayu yang berupa saduran atau terjemahan dari Arab, Persia tau India (Asdi S. Dipodjojo,1981b), antara lain:
1.    Hikayat para Nabi sebelum Nabi Muhammad, misalnya Hikayat Anbiya, Hikayat Raja Jumjumah, Hikayat zakariya.
2.    Hikayat Nabi Muhammad dan para sahabatnya, misalnya Hikayat Nur Muhammad, Hikayat Nabi Bercukur.
3.    Legenda Islam, Misalnya Hikayat Sama’un, Hikayat Sultan Ibrahim Ibn Adham.
4.    Pahlawan Islam, misalnya Hikayat Iskandar Zulkarnain, Hikayat Muhammad Hanafiah.

5.2.4  Filologi Sebagai Penggali Budaya Masa Lampau
Dalam pembicaraan masalah objek filologi telah dikatakan bahwa filologi mempunyai sasaran kerja yang berupa naskah. Khusus filologi Indonesia, naskah-naskah yang perlu ditangani oleh para ahli filologi adalah naskah yang mengandung teks-teks klasik sastra Nusantara.
Masyarakat Nusantara bersifat majemuk. Kemejemukan itu, dalam perkembangan sejarahnya menunjukkan adanya persatuan dan kesatuan. Persatuan dan kesatuan itu realisasinya, antara lain, tampak dalam ikrar Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 dan kemudian dijelmakan sebagai Bhineka Tunggal Ika dalam lambang Negara. Mempelajari sastra lama tidak saja rapat hubunganya dengan mempelajari sejarah peradaban bangsa pemilik sastra itu, tetapi dapat dikatakan memasuki dan hidup dalam masyarakat pemilik sastra tersebut. Orang akan mengetahui masyarakat zaman silam, perkembangan kejiwaannya, perasaan, pikiran, dan gagasan masyarakat masa itu melalui ungkapan pengarangnya, sehingga dengan mempelajari sastra lama orang dapat memperluas dan memperkaya pandangan hidupnya.

5.3 Filologi Alat Evaluasi dan Sumber Inspirasi Pengembangan Kebudayaan
Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk terdapat tiga golongan kebudayaan daerah yang dihadapi oleh masyarakat adalah saling hubungan antara kebudayaan daerah, kebudayaan umum local, dan kebudayaan nasional. Di antara hubungan-hubungan ini, yang paling kritis adalah hubungan antara kebudayaan daerah dan umum local di satu pihak dengan kebudayaan nasional di pihak lain (Parsudi Suparlan, 1983:426).

5.3.1 Politik Kebudayaan
Unsur  kebudayaan yang universal adalah system teknologi, system mata pencaharian, system kemasyarakatan, bahasa, system pengetahuan, religi, dan kesenian. Masalah pengembangan kebudayaan Indonesia pada hakikatnya terbatas kepada masalah pengembangan kesenian Indonesia (Koentjaraningrat, 1982:112-113). Ruang lingkup kesenian itu meliputi seni rupa dan seni suara.. munculnya bahasa Indonesia dan sastra Indonesia merupakan hasil pertemuan antara kebudayaan daerah, Nusantara dan pengaruh kebudayaan Eropa modern (Ajib Rosidi, 1976:11). Kebudayaan Indonesia merupakan kebudayaan yang sangat muda yang lahir kira-kira sesudah perang Dunia 1.

Pembangunan dan perkembangan kebudayaan memerlukan tiga macam sumber yang dapat memberikan unsure-unsur baru. Tiga macam sumber itu adalah daerah nasional dan internasional (Selo Sumardjan,1979:201). Sumber daerah, khususnya sastra daerah, adalah bagian yang menjadi objek filologi. Sumber golongan nasional yang terkuat dalam mempengaruhi pembangunan dan perkembangan kebudayaan Indonesia adalah Pemerintah Republik Indonesia atau pemerintah pusat. Sejak proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia samapi sekarang, pemerintah pusattelah berkali-kali menciptakan pengertian-pengertian baru, konsepsi-konsepsi baru, program-program baru, dan peraturan-peraturan baru yang wajib ditiru atau diikuti oleh semua warga Indonesia, misalnya dalam bidang kenegaraan yang dapat disebut di sini Sang Saka Merah Putih, Lambang Negara Bhineka Tunggal Ika, dan sebagainya (Selo Sumardjan, 1979:292).

5.3.2 Peranan Budaya Masa Lampau dalam Pengembangan Kebudayaan
Penggalian sejarah masa lampau berguna untuk memperkaya dan menunjang kebudayaan nasional Indonesia. Kebudayaan nasional dari masyarakat majemuk seperti Indonesia biasanya belum mantap jika dibandingkan dengan kebudayaan daerah yang tercakup didalamnya. Identitas suatu bangsa didasarkan atas kebudayaanya. Kebudayaan Indonesia berakar pada sejarah. Sebagian besar dari sejarah itu dapat diangkat kembali melalui pengetahuan filologi. Dalam hal ini, buadaya daerah (masa lampau) memegang peranan penting dalam memantapkan dan menunjang pengembangan kebudayaan nasional Indonesia untuk memperkuat identitas kebangsaannya.

5.3.3 Filologi sebagai Penggali Inspirasi Pengembangan Kebudayaan
Mengamati sastra lama dalam rangka menggali kebudayaan Indonesia merupakan usaha yang erat hubungannya dengan pembangunan bangsa Indonesia. Pembangunan Negara yang sifatnya multikompleks member tempat kepada bidang mental dan spiritual. Sastra lama merupakan sumber yang kaya untuk menggali unsur-unsur spiritual itu. Dalam hal ini, bangsa Indonesia boleh berbangga karena memiliki dokumentasi sastra lama yang benar-benar merupakan khazanah yang penuh berisi kekayaan yang tidak terhingga nilainya.
Untuk memahami hasil sastra, khususnya sastra lama, pengetahuan yang memadahi tentang latar belakang penciptaan dan sosiokultural karya sastra itu akan dapat membantu. Pengetahuan sosiokultural itu, antar lain kepercayaan, agama, pandangan hidup, adat istiadat, social, politik, dan ekonomi (Wellek, 1956:61-62). Manfaat mempelajari sastra lama adalah mengenal kekayaan kebudayaan sendiri dan kebesaran masa lampau untuk kepentingan pembentukkan masa sekarang dan masa yang akan dating, memperluas pandangan hidup kemanusiaan, memperluas pengetahuan tentang dunia luas diluar masyarakatnya.
Mempelajari sejarah memiliki arti yang sangat penting dalam kehidupan. Ada tiga manfaat yang dapta ditemukan dalam mempelajari sejarah (Nugroho Notosusanto, 1964:61) yaitu :
1.    Memberikan pendidikan
2.    Memberikan ilham atau inspirasi
3.    Memberikan kesenangan atau pleasure.
Mengingat sastra adalah cermin masyarakat, dalam kaitannya dengan sejarah bangsa Indonesia, naskah-naskah sastra lama itu sangat penting dan sangat berguna untuk dipelajari. Dengan memahami sejrah Indonesia pada masa lampau maka arah pembentukkan kepribadian bangsa Indonesia akan lebih jelas. Sebagai contoh, penggalian naskah Nagarakretagama penting bagi pembangunan Negara Republik Indonesia di masa kini karena Nagarakretagama berisi sejarah pembangunan kerajaan Majapahit di masa lampau.
Pedoman pemerintah yang diuraikan berdasarkan sejarah Islam dengan contoh-contoh dalam bentuk hikayat yang di sana-sini disertai dalil-dalil kutipan dari Quran dan Hadis dapat dikaji melaui naskah Tajussalatin dan Bustanussalatin. Kedua karya itu member pelajaran tentang kewajiban-kewajiban secara moral yang harus dilakukan oleh para raja, menteri, hulubalang, bendahara, penulis, para duta terhadap Allah dan rakyat. Lambang Negara Bhineka Tunggal Ika bukan berasal dari sansekerta, melainkan diambil dari kitab Jawa Kuna Sutasoma(CXXXIX, 5). Unsur sansekertanya hanyalah kata bhinna (Haryati Soebadjo, 1983:556 dan 561).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar